Selasa, 21 Januari 2014
A. Pengertian
Secara etimologi, kaligrafi merupakan penyederhanaan dari calligraphy (Inggris) yang berarti tulisan tangan yang sangat elok, tulisan indah. Dalam bahasa Yunani, kata ini diambil dari kata kallos yang berarti beauty (indah) dan graphein yang artinya to write (menulis) berarti tulisan atau aksara. Dengan demikian kaligrafi dalam bahasa Yunani berarti tulisan yang indah atau seni tulisan indah. Sementara dalam bahasa Arab, kaligrafi disebut khat yang berarti garis atau baris.
Secara terminologi para ahli berbeda dalam mendefinisikannya, Hakim al-Rum misalnya mengatakan, kaligrafi adalah geometri spiritual yang diekspresikan dengan perangkat fisik. Sementara Hakim al-Arab menuturkan, kaligrafi adalah pokok dalam jiwa yang diekspresikan dengan indra. Batasan-batasan tersebut seiring pula dengan yang diungkapkan oleh Yaqut al-Musta’shimi bahwa kaligrafi adalah geometri rohaniah yang dilahirkan dengan alat-alat jasmaniah. Sementara Ubaidillah bin Abbas mengistilahkan kaligrafi dengan lisân al-yadd atau lidahnya tangan. Situmorang mengartikan kaligrafi sebagai suatu corak atau bentuk seni menulis indah dan merupakan suatu bentuk keterampilan tangan serta dipadukan dengan rasa seni yang terkandung dalam hati setiap penciptanya.
Definisi kaligrafi yang lebih lengkap diungkapkan oleh Syekh Syamsuddin al-Akfani, sebagaimana dikutip Sirojuddin, yaitu suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan tata cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun atau apa yang ditulis diatas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis, menggubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.
B. Sejarah Perkembangan Kaligrafi
Peradaban Islam mulai muncul di permukaan ketika terjadi hubungan timbal balik antara peradaban orang-orang Arab dengan non-Arab. Pada mulanya, Islam tidak memerlukan suatu bentuk kesenian; tetapi bersama jalannya sang waktu, kaum muslimin menjadikan karya-karya seni sebagai media untuk mengekspresikan pandangan hidupnya. Mereka membangun bentuk-bentuk seni yang kaya sesuai dengan perspektif kesadaran nilai Islam, dan secara perlahan mengembangkan gaya mereka sendiri serta menambah sumbangan kebudayaan di lapangan kesenian.[5]
Bangsa Arab diakui sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan sederet nama-nama sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca: khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius. Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph, bangsa India dengan Devanagari, bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji, bangsa Indian dengan Azteka, bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan Paku dan pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara. Keadaan ini dapat dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah) yang tidak mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga tradisi lisan (komunikasi dari mulut ke mulut) lebih mereka sukai, bahkan beberapa diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai pemajangan al-Mu’alaqât (syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah).
Pembentukan huruf abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal Islam memakan waktu berabad-abad. Inskripsi Arab Utara tahun 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa huruf Arab berasal dari huruf Nabati, yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang masih dalam rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari masyarakat Arab Utara yang mendiami Hirah dan Anbar, tulisan tersebut berkembang pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan Jazirah Arab.
1. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Salah satu bentuk tulisan yang digandrungi bangsa Arab adalah seni kaligrafi.[6] Beberapa ragam kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat dikembangkannya tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya utama yang berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar (bundar), mutsallats (segitiga) dan Ti’im (kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya dua yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya muqawwar berciri lembut, lentur dan gaya mabsut berciri kaku dan terdiri dari goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya ini pun menyebabkan timbulnya pembentukan sejumlah gaya lain lagi yang diantaranya Mail (miring), Masyq (membesar) dan Naskh(inskriptif). Gaya Masyq dan Naskh terus berkembang, sedangkan Mail lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh perkembangan Kufi. Perkembangan Kufi pun melahirkan beberapa variasi, baik pada garis vertikal maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya. Muncullah gaya Kufi Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq (berdekorasi daun), Mudhaffar (dianyam),Mutarabith
Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian pula gaya kursif mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan gaya Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru maupun penggunaannya. Dalam hal ini penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer Bani Umayyah yang paling termashyur mengembangkan tulisan kursif adalah Qutbah al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf dan Tsuluts. Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain sehingga menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak lurus ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh, gulungan kulit atau kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk komunikasi tertulis para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi istana. Sedangkan tulisan Jalilyang berciri miring digunakan oleh masyarakat luas.
Sejarah perkembangan periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena khalifah pelanjutnya yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian besar peninggalan-peninggalan demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa contoh tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam yang dibangun Mu’awiyah, tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah kolam yang dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.
2. Perkembangan Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini semakin banyak kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M) dan Ishaq ibn Muhammad pada masa Khalifah al-Manshur (754-775) dan al-Mahdi (775-786). Ishaq memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Tsulutsdan Tsulutsain dan mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer yaitu Abu Yusuf as-Sijzi yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf yang lebih halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah yang pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu: titik, huruf alif, dan lingkaran. Menurutnya setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan yang berstandar). Ia juga mempelopori pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq,Raihani, Riqa’ dan Tauqi’ yang merupakan tulisan kursif. Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah yang akhirnya bisa menggeser dominasi khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal diantaranya Muhammad ibn as-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab (413 H) mengembangkan lagi rumus yang sudah dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal dengan al-Mansub al-Faiq (huruf bersandar yang indah). Ia mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan Muhaqqaq secara radikal. Namun karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan fragmen duniawi saja.
Pada masa berikutnya muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan metode baru dalam penulisan kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap enam gaya pokok yang masyhur tersebut. Yaqut adalah kaligrafer besar dimasa akhir Daulah Abbasiyah hingga runtuhnya dinasti ini pada tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang sangat nyata, jauh bila dibandingkan dengan masa Ummayah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Ummayah yang hanya mendominasi unsur ornamen floral dan geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme dan Sasania.
3. Perkembangan Kaligrafi di Belahan Barat Islam
Selain di kawasan negeri Islam bagian timur (al-Masyriq) yang membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan bagian barat negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam). Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda. Gaya keligrafi yang berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad (Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara Mongol dibawah komando Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat segera bangkit kembali tidak kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu Khan yang telah memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali. Penggantinya yaitu Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Qur’an dalam gayaMuhaqqaq tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan lain-lain.
Dinasti al-Khan yang bertahan sampai abad ke-14 digantikan oleh Dinasti Timuriyah yang didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa besar, namun setelah ia masuk Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat perhatian istimewa. Ia mempunya perhatian besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan al-Qur-an. Hal ini dilanjutkan oleh puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad al-Tughra’i yang menyalin al-Qur’an tahun 1408 dalam gaya Muhaqqaq emas. Dan putera Shah Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan menjadi salah seorang kaligrafer terkemuka.
Dinasti Timuriyah mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera digantikan oleh Dinasti Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak sampai tahun 1736. Pendirinya Shah Ismail dan penggantinya Shah Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan gaya kaligrafi baru yang disebut Ta’liq yang sekarang dikenal Khat Farisi. Gaya baru yang dikembangkan Ta’liq adalahNasta’liq yang mendapat pengaruh dari Naskhi. Tulisan Nasta’liq akhirnya menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang biasa digunakan untuk menyalin sastra Persia.
Di kawasan India dan Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa tradisional. Gaya Behari muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris horisontal tebal memanjang yang kontras dengan garis vertikal yang ramping. Sedangkan di kawasan Cina memperlihatkan corak yang khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas penulisan huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini. Gaya ini mendapat pengaruh dari tulisan yang berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa ditorehkan di keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan selanjutnya, wilayah Arab diperintah oleh Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Turki. Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini hingga perkembangan terakhirnya selalu terkait dengan dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada masa Utsmaniyah ini memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi tidak hanya pada kalangan terpelajar dan seniman saja, tetapi juga beberapa sultan bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer. Mereka tidak segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka gaya Farisi pun dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang sebagai kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi yang melahirkan beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman.
Perkembangan kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah melahirkan sejumlah gaya baru yang luar biasa indahnya, berpatokan dengan gaya kaligrafi yang dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang paling penting adalah Syikastah, Syikastah-Amiz, Diwani dan Diwani Jali.Syikastah (bentuk patah) adalah gaya yang dikembangkan dari Ta’liq dan Nasta’liq awal. Gaya ini biasanya dipakai untuk keperluan-keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah penggayaan dari Ta’liq. Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Gaya ini benar-benar kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan bersusun-susun. Diwani kemudian dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru yang lebih monumental disebut Diwani Jali, yang juga dikenal sebagai Humayuni (kerajaan). Gaya ini sepenuhnya dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para muridnya.
D. Perkembangan Kaligrafi di Indonesia
Di Indonesia, kaligrafi hadir sejalan dengan masuknya agama Islam melalui jalur perdagangan pada abad ke-7 M, lalu menyebar ke pelosok nusantara sekitar abad ke-12 M.[7] Pusat-pusat kekuasaan Islam seperti di Sumatera, Jawa, Madura, Sulawesi, menjadi kawah candradimuka bagi eksistensi kaligrafi dalam perjalanannya dari pesisir/pantai merambah ke pelosok-pelosok daerah.[8]
Pada abad XVIII-XX, kaligrafi beralih menjadi kegiatan kreasi seniman Indonesia yang diwujudkan dalam aneka media seperti kayu, kertas, logam, kaca dan media lainnya. Termasuk juga untuk penulisan mushaf-mushaf al-Qur’an tua dengan bahan kertas deluang dan kertas murni yang diimpor. Kebiasaan menulis al-Qur’an telah banyak dirintis oleh para ulama besar di pesantren-pesantren smenjak abad ke-16, meskipun tidak semua ulama dan santri yang piawai menulis kaligrafi dengan indah dan benar. Amat sulit mencari seorang khattat yang ditokohkan di penghujung abad ke-19 atau awal abad ke-20, karena tidak ada guru kaligrafi yang mumpuni dan tersedianya buku-buku pelajaran yang memuat kaidah penulisan kaligrafi. Buku pelajaran tentang kaligrafi pertama kali baru keluar sekitar 1961 karangan Muhammad Abdur Muhili berjudul “Tulisan Indah” serta karangan Drs. Abdul Karim Husein berjudul “Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab” tahun 1971.
Pelopor angkatan pesantren baru menunjukkan sosoknya lebih nyata dalam kitab-kitab atau buku-buku agama hasil goresan tangan mereka yang banyak di tanah air. Para tokoh tersebut antara lain; K.H. Abdur Razaq Muhili, H. Darami Yunus, H. Salim bakary, H.M. Salim Fachry dan K.H. Rofi’i Karim. Angkatan yang menyusul kemudian sampai angkatan generasi paling muda dapat disebutkan antara lain Muhammad Sadzali (murid Abdur Razaq), K. Mahfudz dari Ponorogo, Faih Rahmatullah, Rahmat Ali, Faiz Abdur Razaq dan Muhammad Wasi’ Abdur Razaq, Misbahul Munir dari Surabaya, Chumaidi Ilyas dari Bantul dan lainnya. D. Sirajuddin AR selanjutnya aktif menulis buku-buku kaligrafi dan mengalihkan kreasinya pada lukisan kaligrafi.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaligrafi tidak hanya dikembangkan sebatas tulisan indah yang berkaidah, tetapi juga mulai dikembangkan dalam konteks kesenirupaan atau visual art. Dalam konteks ini kaligrafi menjadi jalan namun bukan pelarian bagi para seniman lukis yang ragu untuk menggambar mahluk hidup. Dalam aspek kesenirupaan, kaligrafi memiliki keunggulan pada faktor fisioplastisnya, pola geometrisnya, serta lengkungan ritmisnya yang luwes sehingga mudah divariasikan dan menginspirasi secara terus-menerus.
Kehadiran kaligrafi yang bernuansa lukis mulai muncul pertama kali sekitar tahun 1979 dalam ruang lingkup nasional pada pameran Lukisan Kaligrafi Nasional pertama bersamaan dengan diselenggarakannya MTQ Nasional XI di Semarang, menyusul pameran pada Muktamar pertama Media Massa Islam se-Dunia tahun 1980 di Balai Sidang Jakarta dan pameran MTQ Nasional XII di Banda Aceh tahun 1981, MTQ Nasional di Yogyakarta tahun 1991, Pameran Kaligrafi islam di Balai Budaya Jakarta dalam rangka menyambut Yahun Baru Hijriyah 1405 (1984) dan pameran lainnya.
Para pelukis yang mempelopori kaligrafi lukis adalah Prof. Ahmad Sadali (Bandung asal Garut), Prof. AD. Pirous (Bandung asal Aceh), Drs. H. Amri Yahya (Yogyakarta, asal Palembang) dan H. Amang Rahman (Surabaya) dilanjutkan oleh angkatan muda seperti Saiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana dan lain-lain. Mereka hadir dengan membawa pembaharuan bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang menjauhkan dari kaedah-kaedah aslinya, atau menawarkan pola baru dalam tata cara mendesain huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah dibakukan. Kehadiran seni lujkis kaligrafi tidak urung mendapat berbagai tanggapan dan reaksi, bahkan reaksi itu seringkali keras dan menjurus pada pernyataan perang. Namun apapin hasil dari reaksi tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap para khattat selama ini, kurang wawasan teknik, kurang mengenal ragam-ragam media dan terlalu lama terisolasi dari penampilan di muka khalayak. Kekurangan mencolok para khattat, setelah melihat para pelukis mengolah karya mereka adalah kelemahan tentang melihat bahasa rupa yang ternyata lebih atau hanya dimiliki para pelukis.
Perkembangan lain dari kaligrafi di Indonesia adalah dimasukkannya seni ini menjadi salah satu cabang yang dilombakan dalam even Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Pada awalnya dipicu oleh sayembara kaligrafi pada MTQ Nasional XII 1981 di Banda Aceh dan MTQ Nasional XIII di Padang 1983.[9] Pada even tersebut, seorang khattath menulis tiga kategori sekaligus: Naskah, Hiasan, dan Dekorasi, maka dikenal istilah ‘Three in One”. Baru pada pelaksanaan MTQ Nasional di Bandar Lampung tahun 1988 (atau di Yogyakarta tahun 1991) konsep “Three in One” dihapus. Barangkali dengan mempertimbangkan profesionalitas (baca: spesialisasi) dan kesemarakan musabaqah. Di antara para khattath golongan penulisan Naskah yang telah menjuarai MKQ tingkat Nasional adalah Mahmud Arham (1991, Jawa Barat), Nur Aufa Soddiq (Jawa Tengah), Muhammad Noor Syukron (1994, Jawa Tengah), Ahmad Hawi Hasan (1997, Jawa Barat), dan Isep Misbah (2000, DKI Jakarta).[10]
E. Genealogi dan Landasan Epistemologi Kaligrafi
Secara genalogis, banyak pendapat yang mengemukakan tentang siapa yang mula-mula menciptakan kaligrafi. Untuk mengungkap hal tersebut cerita-cerita keagamaanlah yang paling tepat dijadikan pegangan. Para pakar Arab mencatat, bahwa Nabi Adam-lah yang pertama kali mengenal kaligrafi. Pengetahuan tersebut datang dari Allah Swt, sebagaiman firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 31:
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (QS. Al-Baqarah [2]: 31)
Di samping itu masih ada lagi cerita-cerita keagamaan lainnya, misalnya saja, banyak yang percaya bahwa bahasa atau sistem tulisan berasal dari dewa-dewa. Nama Sansekerta adalah Devanagari, yang berarti “bersangkutan dengan kota para dewa”. Perkembangan selanjutnya mengalami perubahan akibat pergeseran zaman dan perubahan watak manusia.
Akhirnya muncullah tafsiran-tafsiran baru tentang asal-usul tulisan indah atau kaligrafi yang lahir dari ide “menggambar” atau “lukisan” yang dipahat atau dicoretkan pada benda-benda tertentu seperti daun, kulit, kayu, tanah, dan batu. Hanya gambar-gambar yang mengandung lambang-lambang dan perwujudan dari keadaan-keadaan tertentu yang diasosiasikan dengan bunyi ucap sajalah yang dapat diusut sebagai awal pembentukan kaligrafi. Dari situlah tercipta sistem atau aturan tertentu untuk membacanya. Demikian juga sistem tulisan primitif Mesir Kuno atau sistem yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok masyarakat primitif.
Pada mulanya, tulisan tersebut berdasarkan pada gambar-gambar.[11] Kaligrafi Mesir Kuno yang disebut Hieroglyph berkembang menjadi Hieratik, yang dipergunakan oleh pendeta-pendeta Mesir untuk keperluan keagamaan. Dari huruf Hieratik muncul huruf Demotik yang dipergunakan oleh rakyat umum selama beberapa ribu tahun.[12] Tulisan yang ditemukan 3200 SM di lembah Nil ini bentuknya tidak berupa kata-kata terputus seperti tulisan paku,[13] tetapi disederhanakan dalam bentuk-bentuk gambar sebagai simbol-simbol pokok tulisan yang mengandung isyarat pengertian yang dimaksud. Kaligrafi bentuk inilah yang diduga sebagai cikal bakal kaligrafi Arab. Dari cikal bakal ini kemudian berkembang menjadi berbagai model dan aliran kaligrafi sebagaimana disebutkan pada pembahasan sebelumnya.
Sementara terkait dengan landasan epistemologis, kaligrafi menemui jalan buntu karena ia termasuk dalam wilayah kajian seni Islam. Kebuntuan tersebut muncul dari ambivalensi[14] sikap kaum muslim sendiri dalam menangani persoalan dunia seni. Di satu sisi, sebagian besar orang Islam, dapat dipastikan, akan mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan, apalagi melarang seni. Dengan penuh semangat mereka akan menunjukkan berbagai argumentasi (dalil) baik secara rasio (akal)[15] bahwa Al-Qur’an sendiri mengandung nilai artistik, secara historis bahwa hingga kini tilawah Al-Qur’an dan khath atau kaligrafi tersebar luas di dunia Islam, maupun secara naqli[16]semacam hadis yang mengatakan bahwa “Allah Swt itu indah dan menyukai keindahan“.[17]
Dalam konteks kaligrafi pun demikian, para ulama terbagi menjadi dua aliran utama. Kelompok mayoritas (jumhur) membenarkan dan membolehkan tulisan kaligrafi, sementara sebagian kecil melarang dan mengharamkannya. Diantara argumentasi yang diungkapkan oleh kelompok mayoritas adalah firman Allah Swt:
“Nun, demi qalam (pena) dan apa yang mereka tulis.” (QS. Al-Qalam [68]: 1)
Ketika menafirkan ayat ini, Ibnu Katir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata al-Qalam adalah alat yang digunakan untuk menulis. Ayat ini seperti firman Allah Swt dalam QS. Al-’Alaq [96] ayat 1-5. Sumpah pada ayat di atas (wa al-qalami) merupakan peringatan bagi umat manusia atas nikmat berupa keahlian menulis yang dengannya ilmu pengetahuan dapat diperoleh. Karena itu, redaksi selanjutnya berbunyi wa mâ yasthurûn (dan apa yang mereka tulis).[18]
Berdasarkan ayat ini maka menulis, termasuk di dalamnya menulis kaligrafi, masuk dalam cakupan perintah menulis dalam ayat tersebut di atas dan ayat 1-5 surat Al-’Alaq. Keumuman redaksi yang digunakan dalam dua surat tersebut mengindikasikan bahwa Allah Swt tidak melarang sesorang menulis dengan gaya apapun, termasuk dengan model kaligrafi. Bahkan pemilihan kata al-Qalam(pena) sendiri mengindikasikan bahwa tulisan yang digoreskan harus benar dan indah. Sebab diantara makna turunan kata al-qalam adalah keteraturan, kebersihan dan keindahan.
Terkait perintah menulis ini, Ibnu Taimiyah juga menyatakan bahwa mempelajari tulisan atau belajar menulis adalah salah satu cara untuk mendapat kemuliaan dan kehormatan. Maka, hendaklah kita belajar menulis, sebab orang yang bisa menulis berarti telah memperoleh kemuliaan, sementara orang yang tidak bisa menulis berarti telah mendapatkan kerugian. Namun kemampuan menulis sebaiknya digunakan untuk menulis hal-hal yang baik dan bermanfaat, dan tidak digunakan untuk menulis sesuatu yang membawa madharat dan bahaya bagi sesama.[19]
Dasar kedua adalah beberapa hadis Nabi Saw tentang perintah menulis Al-Qur’an dan mengajarkannya.[20] Juga hadis yang berbunyi bahwa:
إن الله جميل يحب الجمال.
“Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan.”
Redaksi hadis ini sangat jelas bahwa Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan. Karenanya tulisan kaligrafi adalah salah satu bentuk ekspresi keindahan yang diungkapkan seorang hamba. Sepanjang tulisan kaligrafi tersebut tidak melanggar kaidah-kaidah bahasa Arab, maka ia dibolehkan dan bahkan dalam kondisi tertentu diwajibkan. Hal ini sebagai salah satu bentuk pengamalan dari hadis tersebut.
Secara historis, tradisi menulis kaligrafi juga diamini dan bahkan dikembangkan oleh umat Islam sejak zaman klasik. Kemudian tradisi ini secara terus menerus mengalami perkembangan cukup pesat seiring dengan detak nadi zaman. Oleh karena alasan-alasan itulah maka mayoritas ulama membolehkan tulisan kaligrafi. Namun demikian, sebagian kalangan memberikan catatan, agar tulisan kaligrafi –khususnya yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an- tidak dikomersialisasikan secara berlebihan (israf), karena hal itu dikhawatirkan dapat merusak nama baik Islam dan memporandakan sakralitas Al-Qur’an. Juga tidak boleh dijadikan atau diyakini sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan magis, karena dikhawatirkan akan menjerumuskan umat kedalam kemusyrikan.
Di sisi lain, kelompok minoritas muslim –khususnya kelompok ekstrim kanan- bahkan melarang dan mengharamkan kaligrafi dengan berbagai argumentasi. Salah satunya adalah, tulisan kaligrafi diimpor dari tradisi tulis menulis yang berkembang di kalangan Yahudi dan Nasrani, sementara Islam otentik –menurut mereka- tidak memiliki ajaran seperti itu. Islam hanya mengajarkan membaca dan menulis tanpa menjelaskan secara tegas model tulisannya. Ini berarti bahwa kaligrafi tidak termasuk bagian dari ajaran Rasul Saw. Sementara fenomena tulisan kaligrafi yang dikembangkan pada masa dinasti Islam pasca Rasul sejatinya tidak bersumber dari ajaran Islam yang orisinil.
F. Tipologi Kaligrafi
Secara garis besar, kaligrafi dapat dikelompokkan menjadi dua aliran utama, yaitu kaligrafi “murni” dan “lukisan” kaligrafi. Pertama, kaligrafi murni dimaksudkan sebagai kaligrafi yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat, yakni bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi (khath) yang baku. Kaligrafi murni ini dapat dibedakan dengan jelas aliran-aliran seperti Naskhi, Tsuluts, Rayhani, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi dan Riq’ah.[21]Penyimpangan atau pencampuradukkan satu dengan yang lain dipandang sebagai suatu kesalahan, karena dasarya tidak cocok dengan rumus-rumus yang sudah ditetapkan.[22]
Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa suatu hasil karya kaligrafi murni tidak boleh mencampuradukkan gaya dalam penulisan kaligrafi misalnya, Naskhi, Riq’ah dan Tsuluts dijadikan satu. Hal itu tidak boleh terjadi, karena merupakan “pelanggaran”. Selanjutnya menurut Situmorang, bahwa suatu gaya kaligrafi sudah ditentukan secara ketat peraturan penulisannya. Keserasian antar huruf, cara merangkai, sentakan, bahkan jarak sepasi harus diperhitungkan dengan serasi.[23] Teknik penulisan tiap-tiap kaligrafi atau khath juga mempunyai cara yang berbeda-beda.
Kedua, lukisan kaligrafi adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligrafi yang “dilukis-lukis” sedemikian rupa –biasanya dengan kombinasi warna beragam, bebas dan (umumnya) tanpa mau terikat dengan rumus-rumus baku yang sudah ditentukan.[24] Model inilah yang digolongkan ke dalam aliran kaligrafi kontemporer. Kaligrafi kontemporer adalah istilah atau sebutan untuk sebuah karya yang “memberontak” atau “menyimpang” dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang merupakan bentuk manifestasi gagasan dalam wujud visual. Secara estetika kaligrafi kontemporer mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa kontemporer secara umum dan secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan hadis, yang membawa muatan artistik-apresiatif yang berfungsi sebagai tontonan (media apresiasi), di sisi lain mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai tuntunan (media dakwah).
Menurut Affandi, lukisan kaligrafi adalah karya cipta manusia sebagai hasil pengolahan ungkapan batinnya melalui susunan unsur-unsur tulisan dan unsur-unsur dwi marta yang lain, yang memiliki sifat-sifat simbolik, religius, dan estetik. Membawa pesan kebaikan antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan alam.[25] Jadi, setiap lukisan kaligrafi memiliki kebebasan dalam gaya atau corak tulisan sehingga tercipta suatu kesatuan bentuk lukisan yang sesuai dengan keinginan penciptanya. Medium untuk penciptaan karya lukisan kaligrafi pun sangatlah bebas, sebebas medium yang digunakan pada karya-karya lukisan umumnya. Lukisan kaligrafi dapat ditampilkan dengan teknik cat minyak, cat air, batik bahkan dengan berbagai teknik eksperimen klasik maupun modern.[26]
[1] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. XXIV, Oktober 1997), h. 95.
[2] Atabik Ali dan A. Zuhdi Mudhor, Kamus Al-’Ashri: Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, t.th.), h. 54
[3] Lihat Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam: Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Bandung: Penerbit Angkasa, cet. X, 1993), h. 67
[4] Lihat D. Sirojuddin AR., Seni Kaligrafi Islam, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. I, Edisi II, h. 3
[5] M. Abdul Jabbar Beg, Seni di dalam Peradaban Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), h. 1
[6] Lihat M. Abdul Jabbar Beg, Seni di dalam Peradaban Islam, Bab II, h. 1
[7] Berdasarkan hasil penelitian tentang data arkeologi kaligrafi Islam yang dilakukan oleh Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, kaligrafi gaya Kufi telah berkembang pada abad ke-11, datanya ditemukan pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun di Gresik (wafat 495 H/ 1082 M) dan beberapa makam lainnya dari abad-abad ke-15. Bahkan diakui pula sejak kedatangannya ke Asia Tenggara dan Nusantara, disamping dipakai untuk penulisan batu nisan pada makam-makam, huruf arab tersebut (baca: kaligrafi) memang juga banyak dipakai untuk tulisan-tulisan materi pelajaran, catatan pribadi, undang-undang, naskah perjanjian resmi dalam bahasa setempat, dalam mata uang logam, stempel, kepala surat dan sebagainya. Huruf Arab yang dipakai dalam bahasa setempat tersebut diistilahkan dengan huruf Arab Melayu, Arab Jawa atau Arab Pegon. Diskusi lebih mendalam dapat dilihat pada Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998)
Ahmad Suudi, Konsep Kaligrafi Islami Amri Yahya dalam Seni Lukis Batik, (Yogyakarta: FPBS-IKIP, 1995), h. 4
[9] Peraturan Musabaqah Khat Al-Qur’an (MKQ) yang diterapkan pada MTQ saat itu, belum menunjukan spesialisasi seperti sekarang. Dulu seorang khattath menulis tiga kategori sekaligus: Naskah, Hiasan, dan Dekorasi, maka dikenal istilah ‘Three in One”. Hampir dapat dipastikan, sebagian besar peserta mengeluhkan teknis yang semacam itu. Betapa tidak, untuk menjadi peserta dituntut memiliki tiga keahlian (skill) sekaligus-suatu tuntutan yang sulit dipenuhi. Lihat
Ahmad Tholabi Kharlie, Mempertahankan Tradisi Via MKQ Cabang Penulisan Buku, Makalah Pengantar Kaligrafi, Tidak Diterbitkan, h. 3
Ahmad Tholabi Kharlie, Mempertahankan Tradisi Via MKQ Cabang Penulisan Buku, h. 3
D. Sirojuddin AR., Seni Kaligrafi Islam, h. 8-9
Abdul Karim Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi, Tuntutan Menulis Huruf Halus Arab dengan Metode Komparatif, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1985), h. 6
Lihat D. Sirojuddin AR., Seni kaligrafi Islam, h. 10
Yang dimaksud ambivalensi dalam konteks ini adalah kebingungan dalam menentukan dua perasaan yang sama-sama muncul; perasaan yang bertentangan. Seperti munculnya gerakan “pemberontakan” terhadap kaidah-kaidah yang sudah baku dalam seni kaligrafi.
Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, terj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), Cet. I, h. 13-17
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, cet. IX. Maret 1999), h. 389.
[17] Pengantar buku Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, h. v
[18] Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-’Azhim, (Kairo: Dâr al-Manar, t.th.), Juz 3, h. 592
[19] Lihat Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, (Bairut: Dar Shadir, t.th.), h. 849
[20] Beberapa hadis itu antara lain adalah hadis yang berbunyi: “Tulislah, barangsiapa menulis dariku selain al-Qur’an, maka hapuskanlah” (HR. Tirmidzi); “Sebaik-baik kalian semua adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari Muslim). Dua hadis ini disinyalir sebagai landasan utama dalam penulisan dan pengajaran Al-Qur’an. Redaksi yang digunakan bersifat umum, tidak menunjukkan dengan tegas model tulisan yang harus digunakan dalam penulisan Al-Qur’an tersebut. Oleh karena itu, poin yang coba ditarik dari hadis pertama adalah perintah menulis Al-Qur’an dengan berbagai metode dan cara, baik tulisan kaligrafi maupun tidak, dengan syarat tidak bertentangan dengan kaidah bahasa Arab (qawa’id al-lughah al-’arabiyah).
Khath Kufi disebut khath Muzawwa, yakni jenis tulisan Arab yang berbentuk siku-siku. Tulisan ini semula berasal dari khath Hieri (Hirah), suatu tempat bernama Hirah dekat Kufah, kemudian tulisan ini dikenal dengan nama Kufi. Khath Naskhi atau Nasakh merupakan salah satu tulisan kursif paling awal, namun memperoleh popularitas baru setelah dirancang kembali oleh Ibnu Muqlah pada abad ke-10 M. Khath Tsuluts pertama kali dirumuskan pada abad ke-7 M pada masa kekhalifahan Umayyah. Tsuluts berarti “sepertiga”—karena pertimbangan garis lurusnya terhadap garis lengkungnya, atau karena tulisan ini adalah sepertiga dari ukuran tulisan lain yang populer pada masa itu. Khath Farisi (Ta’liq) pertama kali berkembang di Persia pada masa pemerintahan Dinasti Safavid (1500-1800 M) kemudian Pakistan, India dan Tuki. Pada masa pemerintahan Shah Ismail dan Shah Tahmasp, perkembangan khath Farisimengalami kemajuan yang pesat, sehingga tulisan ini menjadi satu-satunya tulisan yang berlaku di Persia. Khath Riq’ah adalah satu bentuk tulisan yang dapat ditulis dengan cepat, yang hampir mirip dengan cara menulis stenografi. Tulisan ini ditemukan pada abad 15 M. Khat Rayhani pertama kali dikembangkan pada abad ke-9 M oleh Ali ibn al-Ubaydah al-Rayhani, yang berasal dari khath Naskhi dankhath Tsuluts. Khath Diwani adalah perkembangan tulisan Usmaniyyah pada akhir abad ke-15 M, dari tulisan Ta’liq Turki oleh Ibrahim Munif. Khath Diwani Jali merupakan tulisan Diwani yang mengembangkan ragam ornamental, juga dikenal sebagai Humayuni (kerajaan). Diskusi lebih dalam mengenai hal ini dapat dilihat pada Oloan Situmorang, Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan Perkembangannya, h. 68-97; dan Yasin Hamid Safadi, Kaligrafi Islam, terj. Abdul Hadi W.M. (Jakarta: PT. Pantja Simpati, cet. I, 1986), h. 32-86
[22] D. Sirojuddin AR., Seni Kaligraf Islam, h. 11
[23] Oloan Situmarang, Seni Rupa Islam Pertumbuhan dan perkembangannya, h. 68
[24] D. Sirojuddin AR., Seni Kaligraf Islam, h. 10-11
[25] M. Affandi, Ekspresi Simbolik, Religius dan Estetika dalam Karya Lukis Kaligrafi, (Yogyakarta: FPBS-IKIP, 1994), h. 137
[26] Terkait dengan hal ini, Syaiful Adnan dan Suwaryono menegaskan bahwa fokus lukisan kaligrafi tidak hanya selesai pada huruf, tetapi kehadirannya memang sebagai “lukisan” dalam arti yang sesungguhnya. Lebih lanjut ia mengatakan, lukisan kaligrafi pada dasarnya ditopang dua unsur elemen seni rupa, berupa unsur-unsur fisiko plastis (berupa bentuk, garis, warna, ruang, cahaya, dan volume) di satu pihak, dan di pihak lain tuntutan-berupa tuntunan yang cenderung ke arah idio plastis(meliputi semua masalah yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan isi atau cita pembahasan bentuk). Dalam ungkapan yang lebih mudah, “lukisan” kaligrafi tidak hanya menampilkan sosok huruf yang dilukis, tetapi juga sebagai sebuah lukisan utuh yang menjadikan huruf sebagai salah satu elemennya. Lihat D. Sirojuddin AR., Seni Kaligrafi Islam, h. 178
0 komentar:
Posting Komentar