Alam
secara otonom menyusun sistemkehidupannya yang rumit dengan sangat sempurna.
Tanpa campur tangan manusiapun, ekosistem alam raya pastinya akan tetap hidup
dan tumbuh alamiah. Menjadi beralasankemudian, tokoh transendentalis di New
England,Henry David Thoreau menyatakan, bahwa dunia alam—hewan, burung, pohon,
bahkanrumput-rumputan—memiliki hak untuk eksis demi dirinya sendiri, bukan
untukkemanfaatan umat manusia. Bumi yang kita pijak, bukanlah massa yang lembam
dan mati; bumi adalahsebuah tubuh, memiliki jiwa, bersifat organik dan mendapat
pengaruh darijiwanya sendiri (Shabecoff, 2000: 35). Manusia dalam kehidupan
semesta rayaseharusnya memang berkontribusi lebih bagi kelangsungan alam, bukan
malahmenjadi perusak paling ektrem.
|
M Aidi Yupri " Alamn Menggugat " |
Berderetfakta
telah membuktikan, betapa oleh manusia, semesta disakiti, bahkan beberapabagian
alam dilenyapkan secara sistematis. Polusi udara, air laut tercemar,hutan-hutan
hijau digundul, hingga eksploitasi semena-mena perut bumi. Bencanapun mengorbit
oleh kerakusan manusia atas alam ini; banjir terjadi di saatmusim kemarau,
ikan-ikan laut tercemar merkuri, udara melampaui ambang sehatuntuk dihirup,
hingga suhu bumi pun kian memanas. Manusia ternyata tanpa dayamenghadapi
gelombang pasang berbagai bencana itu.
Sudahsepatutnya
alam semesta didengar, dijadikan guru. Bagaimana pun, jika manusiatetap
bersikukuh dalam genggaman egoisme, tentu tak ada yang mustahil darikisah
tragedi kiamat; lenyap-sirna seluruh kehidupan bumi, seperti diperkirakanbanyak
peramal lingkungan.
|
Alam Menggugat oleh M Aidi Yupri Seniman Indonesia |
Sebatang
Pohon, Setumpuk Buku Kehidupan
Adalah
perupa kelahiran 24 Desember 1981, M. Aidi Yupri berkehendak menyusuri suara-suara
alam. Menyediakan ruang bagi alam untuk bersenandung, berucap soaletik laku
kehidupan harmoni bumi. Pada titik inilah, adab kehidupan tetua dimasa lalu
menjadi kitab kehidupan yang mesti ditimbang. Di mana kehidupansejalan-seiring
bersama tetumbuhan, satwa alam, dan juga ajegnya air bersih,dan udara segar tanpa
polusi.
Berderetkearifan
moyang tadi diwarisi Aidi kecil di kampung halamannya Pancuran Mas,Magelang.
Oleh kakek buyut, juga ayahnya sendiri, sejak dini telah dilatihmembibit,
menanam dan memelihara pohon-pohon jati di kebun. Keseharian tak ubahpotret bermain
bersama berjenis-jenis pepohonan. Bagi Aidi, mengenali pohon,tak ubah membaca
berhalaman-halaman buku. “Pohon memberi banyak pelajaran soalhakekat kehidupan.
Dunia pohon dan tetumbuhan adalah realitas yang menerangi;memberi daya hidup
bagi seisi bumi,” urai perupa lulusan Seni Rupa Murni ISIYogyakarta itu dalam
sebuah kesempatan bersama penulis.
Dalamtradisi
Jawa-Bali masa lalu, laksana dunia pohon dan tetumbuhan diibaratkanelok-laku
sosok manusia. Tersebutlah dua kitab maha penting, bagaimana leluhurmembaca dan
meyakini alam sebagai roh hidup yang bersaudara dengan manusia.Kitab pertama
bernama Taru Pramana (memuatihwal tetumbuhan sebagai bahan obat-obatan),
kitab berikutnya bernama Aji Janantaka (mengatur perihaltetumbuhan dan
pepohonan yang diperbolehkan menjadi bahan bangunan rumah, punbangunan ibadah).
Dua kitab ini pula mengajari bagaimana manusia sesungguhnyabegitu bergantung
pada alam tetumbuhan, dari bahan obat, hingga untuk tempattinggal.
Berangkatdari
kepercayaan dan perilaku hidup meng-alam sedari usia dini itu, Aiditersadar
menjadikan alam sekitar sebagai subyek kreatif. Pohon dalam tiapdetail, juga
ihwal filosofinya yang lekat, senantiasa menantang daya intuitif.Lewat indah
helai daun, Aidi menemukan berlimpah hikayat kehidupan; secarareflektif
memancing daya kritis untuk mencipta metafora baru. Pun takterelakkan lagi,
bayangan pepohonan menjadi penanda dalam merangkai bacaan soalkecintaan pada
bumi. Sebut misal, karya Aidi berjudul “Deformasi Hijau”bersubjek sehelai daun
jati yang digunting. Karya yang boleh jadi bertuturkeprihatinan hilangnya ruang
hijau. Jangankan hutan tropis yang luas, selembardaun pun kini telah terjarah
tangan-tangan rakus kapitalisme. Sebuah kekritisan yang subtil.
|
Sekilas nampaksebatang pohon yang sudah di tebang memantulkan bayangan yang membentuk sebuah pohon...oleh M Aidi Yupri |
Menjelangtugas
akhir untuk meraih gelar sarjana tahun 2006, Aidi telah intensifmengekplorasi
dunia tetumbuhan dan pepohonan. Jagat alam yang sedemikian dalamtelah memantik
segala keyakinan dan endapan hasrat seninya. Diakui atau tidak,karya-karya yang
bertema alam inilah yang menjadikan sosok Aidi mulai disorotdan diintip langkah
kreatifnya oleh publik seni rupa nasional.
Kembalike
soal kerangka kreatif perupa peraih penghargaan karya lukis dan sketsaterbaik
tahun 2002/2003 FSR ISI Yogyakarta itulebih pada penyelaman laksana sehari-hari
dunia tetumbuhan dan pohon. Menjadibenar, bahwa environmental aesthetics sesungguhnyaadalah
estetika dalam kehidupan sehari-hari (Light and Smith, dalam Carlson,2005:
552).
Aidi menuliskan konsepnya, “mencari makna tentang alam, terutamanyadalam
sosoknya sebagai tetumbuhan dan pohon. Menunjuk ke sebuah pernyataan(modifikasi
dari slogan yang dikumandangkan John F. Kennedy tentang wargaNegara dengan
Negara-nya sendiri), jangan tanyakan seberapa Alam telah memberikehidupan bagi
manusia, tapi tanyakan sejauh mana manusia sanggup berkorbandemi kelangsungan
ekosistem alam dan lingkungan?”. Pernyataan yang mengantarkankita pada sebuah
tanda tanya besar atas prinsip hidup manusia yang tak lagiselaras bersama
semesta, dan lingkungan sekitar. Sepertinya estetika lingkunganmemang harus
dikembalikan sebagai realitas keindahan dan daya kritissehari-hari.
BerikanAlam
Semesta Bicara
Dalam
pameran tunggal bertajuk “AlamMenggugat”, sebuah tajuk serapan dari karya
pendiri Republik IndonesiaSoekarno; Indonesia Menggugat, berhasrat untuk
menyibak secara berempatikumandang alam semesta raya tentang dirinya dan juga
berkait hal-hal menyangkutkeseharian manusia. Inilah ruang, bagaimana Aidi
secara sadar berhasrat untukmendengar keluh kesah, rintih tangis, tutur
kebajikan, dan juga segala protesalam pada laku hidup manusia. Sebuah langkah
menjadikan alam sebagai maha gurukehidupan, sebagaimana kalangan sufi mencari
keilahian semata hanya denganbersekutu bersama semesta alam.
Aidi
berhasil merenangi renik-renikkehidupan alam: batang pohon, helai daun, bunga
lotus yang mekar, ikan koimenari, hingga sosok bayangan pepohonan diterpa
matahari, dijumput dengansimpati ke dalam karya-karyanya. Secara kekaryaan
muncullah citra benda-bendayang mengidentikkan makna dialogis; filsafat alam
dan dunia material manusia.Bohlam (bola lampu listrik) muncul membingkai narasi
harmoni kehidupan alam,sebut karya Aidi berjudul “Di Balik Cahaya “, dan “Kokoh
Berpijar” menunjukkansemangat itu.
Bagaimana
alam dipahami sebagaikitab kehidupan paling sempurna, Aidi menjumput buku sebagai
penanda visual.Buku baik secara denotatif sekaligus konotatif niscaya sebuah
medan ilmu pengetahuan yang tiada batas.Secara gamblang dan mengena dinyatakan
dalam karya bertajuk “ProyeksiKata-Kata” (2010), subjek buku dengan
huruf-hurufnya yang lepas-berjatuhanmembentuk bayangan pohon. Juga karya
berjudul “Pustaka Alam” sebuahpenggambaran bagaimana bayangan pohon merefleksi
makna-makna di tiap lembarhalaman buku-buku. Atau dalam pengertian sebaliknya,
tiap halaman buku adalahsoal menghidupkan kehidupan, tak terkecuali tetumbuhan
dan pohon.
|
M Aidi Yupri.......AlamMenggugat
|
Karya
trimatra (berbentuk bukudengan halaman terbuka) berjudul “Cukup Satu Kata:
Pohon” nampak semakin kuatmenggali tematik “Pohon” yang dimaknai ekuivalen
dengan memahamiberhalaman-halaman isi buku. Buku tentu menunjuk soal tingkatan
pemahamanbersifat filosofis; ihwal kebijaksanaan. Ini selaras dengan imaji
bayangandedaunan yang digambarkan bak tumpukan huruf-huruf.
Selain
wacana tematik, karyatrimatra ini, juga boleh disebut menalarkan konsep baru
seni lukis kontemporer,yakni bagaimana seni lukis tidak hanya sebagai lukisan,
melainkan jugamerepresentasikan ide tentang lukisan (Schwabsky, dalam Breuvart,
2002: 08).Pandangan yang memperluas jangkauan seni lukis, dari sebelumnya
sebatasmenuangkan ide-ide menjadi lukisan, kini juga menimbang ide-ide
tentangpenciptaan (konsep) lukisan baru. Lukisan berdimensi tiga sudut pandang,
dimana karya “Cukup Satu Kata: Pohon” memiliki ketebalan senyata buku
berukuranbesar. Pemahaman ini juga mengingatkan pada karya-karya instalasi
Aidi, yangjuga merupakan upaya perluasan dari prinsip-prinsip seni lukis.
Dalam
karya instalasi “Pesan Hijau”Aidi merangkai sedemikian rupa tonggak-tonggak
kayu berbahan resin, dengansulur bayangan pohon yang dilukisnya di tembok.
Berbaris tunggul kayu sisatebangan itu memantulkan bayangan akan kenyataan emas
hijau yang kini telahjadi lapang. Tunggul-tunggul menyisakan kekejaman
pembabatan hutan, pernyataanAlam yang menggugat nurani manusia.
Menjumput
kenyataan alam, berikutdielaborasi secara berempati, menjadikan eksplorasi
kreatif Aidi berjarak darikecenderungan pelukisan alam selayak Mooi Indie.
Sebagaimana prinsipkarya-karya kontemporer, Aidi juga mengemas jangkauan
kreatifnya denganbacaan-bacaan kritis kehidupan sosial kontemporer. Subjek alam
dihadirkannyadengan perangkat simbol-simbol sosial baru yang menggugah daya
kritis kitasemua. Selamat
mengapresiasi.
Wayan
Kun Adnyana
SumberBacaan,
Adnyana, Wayan Kun, Nalar Rupa Perupa, Yayasan Arti,
Denpasar, 2007.
Carlson, Allen, “EnvironmentalAesthetics” dalam The
RoutledgeCompanion to Aesthetics, edisi kedua, editor: Gaut, Berys dan
Lopes,Dominic Mclver, Routledge, New York, 2005.
Shabecoff, Philip, Sebuah NamaBaru untuk Perdamaian,
Penerj: P. Soemitro,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1999.
Schwabsky,Barry. “Painting in The InterrogativeMode”, dalam
Valerie Breuvart (editor), VitaminP: New Perspectivein Painting,
Phaidon, London, 2002.
Wawancara penulis dengan perupa AidiYupri dilakukan di studio
Aidi di Yogyakarta, Rabu (10 Maret 2010), dan Rabu(14 April 2010).
0 komentar:
Posting Komentar